Oleh: salah satu kelompok presentasi kelas a1 2010
Pendidikan merupakan
suatu kewajiban bagi setiap manusia yang ada dimuka bumi ini, karena
melalui pendidikan maka manusia akan bisa melakukan perubahan dari
masa ke masa. Dalam pendidikan tentu mengenal kata filsafat. Filsafat
merupakan bidang yang mengakaji pendidikan secara konseptual dan akan
diaplikasikan dalam bidang ilmu lainnya. Kebanyakan filsafat
berfungsi kepada tata cara, landasan, dasar dan peraturan dalam dunia
pendidikan. Di Negara Indonesia sendiri telah mengenal filsafat sejak
lama. Banyak lahir karya-karya yang telah mengubah bentuk dan tatanan
Negara ini, salah satunya adalah pancasila. Pancasila merupakan dasar
Negara Indonesia yang selalu menjadi patokan kemana bangsa ini akan
berjalan. Hampir semua aspek berkaitan dengan pancasila. Mulai dari
tatanan hidup, tatanan kenegaraan, peraturan yang ada, serta
pendidikan.
Mempelajari
Pancasila lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia
yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup
sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat
dan berbudaya tinggi. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber acuan
dalam menyusun etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat
Indonesia, maka Pancasila juga sebagai paradigm pembangunan,
maksudnya sebagai kerangka pikir, sumber nilai, orientasi dasar,
sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan
perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu. Pancasila
sebagai paradigma pembangunan mempunyai arti bahwa Pancasila
sebagai sumber nilai, sebagai dasar, arah dan tujuan dari proses
pembangunan. Untuk itu segala aspek dalam pembangunan nasional
harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila Pancasila dengan
mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten
berdasarkan pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia.
Pengertian Filsafat
Filsafat
adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan
konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Secara
etimologis istilah ”filsafat“ atau
dalam bahasa Inggrisnya “philosophi”adalah
berasal dari bahsa Yunani “philosophia” yang
secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta
kearifan” kata
philosophia tersebut berakar pada kata “philos”
(pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan).
Berdasarkan pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta
kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau
kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta
kebijaksanaan.
Ontologis
Ontologi adalah
bagian dari filsafat yang menyelidiki tentang hakikat yang ada.
Menurut Muhammad Noor Syam (1984: 24), ontologi kadang-kadang
disamakan dengan metafisika, sebelum manusia menyelidiki yang lain,
manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Manusia dalam interaksinya
dengan semesta raya, melahirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis
seperti apakah sesungguhnya realita yang ada itu. Jadi, ontologi
adalah cabang dari filsafat yang persoalan pokoknya apakah kenyataan
atau realita itu. Rumusan-rumusan tersebut identik dengan
membicarakan tentang hakikat ada.
Epistimologis
Epistimologi adalah
studi tentang pengetahuan atau mengetahui (adanya) benda-benda.
Epistemologi juga dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang
menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas dan hakikat
ilmu pengetahuan. Biasanya secara umum epistimologis menetapkan
apakah suatu cabang ilmu layak/tepat atau memenuhi syarat atau tidak
untuk disebut ilmu pengetahuan atau cabang pengetahuan.
Aksiologis
Aksiologi adalah
teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik.
Dengan kata lain Aksiologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki
aspek nilai (value). Nilai tidak akan timbul karena manusia mempunyai
bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi, masyarakat
menjadi wadah timbulnya nilai. Dikatakan mempunyai nilai, apabila
berguna, benar (logis), bermoral dan etis. Dengan demikian, dapat
pula dibedakan nilai materiil dan spiritual.
Implikasi Terhadap pendidikan
Pandangan Pancasila
tentang hakikat realitas, manusia, pengetahuan dan hakikat nilai
mengimplikasikan bahwa pendidikan seyogyanya bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap,kreatif,mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggu jawab. Tujuan pendidikan tersebut
hendaknya kita sadari betul,sehingga pendidikan yang kita
selenggarakan bukan hanya untuk mengembangkan salah satu potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu saja, bukan hanya
untuk terampil bekerja saja, dsb, melainkan demi berkembangnya
seluruh potensi peserta didik dalam konteks keseluruhan dimensi
kehidupannya secara integral.
Implikasi
terhadap pendidikan meliputi:
- Implikasi Bagi Guru
Apabila
konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka
filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya,
sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya
menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.
Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya,
seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian
serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara
yang lain. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan
instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian
tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara pendidikan yang dengan sendirinya
melihatnya dalam perspektif yang lebih luas dari pada sekedar
pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang
dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.
Telah
dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan
diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang
dinamakan pendidikan itu, hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang
berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik,
dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman,
keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat
kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua
belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai
kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan,
tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur
kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn
bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi
dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya
individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat
belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan
yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya. Apabila
demikian keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak
hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya
sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk
meningkatkan martabatnya. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan
sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak
dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki
adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat
kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan
cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.
Segala
ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk
yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik.
Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan”
prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik
dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang
lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih
belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi.
Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan
kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan
pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan
melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim
itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
- Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan.
Tidaklah
berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya
teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak
mengherankan karena masih belum menyempatkan diri untuk menyusunnya.
Bahkan salah satu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan
sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, masih belum
berhasil memantapkannya. Hal tersebut dikemukakan sama sekali
didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantaranya yang memikirkan
masalah pendidikan guru. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada
diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan
sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang
menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak
program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang
diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang
menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan
tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan
sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada
perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan
jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran
tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara
partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau
seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan
tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya
teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah
yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta
mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan
yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam
konteks pendidikan. Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan
mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu:
pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah,
analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat.
Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan
interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan
didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi
filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang
serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat
rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai
perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan”
program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari
serangan-serangan konseptual.
DOWNLOAD FULL MAKALAHNYA DISINI
mungkin nanti saya butuh
BalasHapushadir gan >.<
trimakasih juragan :D
Hapushahaha thx gan kunjungannya,
BalasHapussatyangnya ane bukan anak filsafat,, tapi nice post gan,,
BalasHapuskoment back yaa www.ankurniawan.blogspot.com
thanks juragan :D
Hapuskeren2 gan artikelnya dari pertama maen ksini
BalasHapussukses terus gan