Oleh:
Marwi Hendrianto
Kebudayaan
Jawa merupakan salah satu kebudayaan daerah yang masih lestari
hingga saat ini. Kelestarian budayaya jawa tak luput dari sifat
karakteristik yang bersifat religius, non doktriner, toleran,
akomodatif dan optimistik serta peran serta keaktifan masyarakat
dalam menjaga tradisi-tradisi yang ada (Ki Bangunjiwa: 2002).
Berbekal sifat karakteristik serta hanggarbeni
1)
dari masyarakatnya tersebut, banyak sekali tradisi-tradisi dari masa
lalu yang masih dapat dijumpai hingga saat ini. Sekaten, Gunungan,
Suran, Tedak Siten, Mitoni, Nglarung dan Nyadran merupakan sebagian
dari tradisi Jawa yang masih dapat kita saksikan.
Salah
satu tradisi Jawa yang masih lestari hingga saat ini adalah Nyadran.
Nyadran berasal dari kata “sraddha”,
yang dalam Bahasa Sansekerta berarti keyakinan, percaya atau
kepercayaan. P.J. Zoetmulder dalam bukunya, Kalangwan, menceritakan
bahwa Upacara Sraddha merupakan salah satu bentuk penghormatan atas
kematian Tribhuwana Tungga Dewi, raja Kerajaan Majapahit yang puput
pada tahun 1350. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya Tradisi Nyadran
berlangsung secara lestari di tanah jawa, mulai dari zaman kerajaan
Majapahit hingga sekarang.
Secara
umum, prosesi Nyadran hampir sama di beberapa daerah. Inti dari
Nyadran melibatkan tiga hal: uba rampe berupa sesaji, mendatangi
makam leluhur, dan berdoa, sebagai bentuk penghormatan terhadap arwah
mereka. Esesnsi dari ketiga kegiatan tersebut adalah sebagai bentuk
pendekatan diri kepada Tuhan YME. Pelaksanaan Nyadran biasanya
dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah
(Sya’ban). Pemilihan waktu tersebut, disamping berdasar
kesepakatan, juga berdasar paham mudhunan dan munggahan, yaitu paham
yang meyakini bulan Ruwah sebagai saat turunnya arwah para leluhur
untuk mengunjungi anak cucu di dunia
(Gatot
Marsono: 2007).
Prosesi
Nyadran umumnya diawali dengan setiap keluarga membuat kue apem,
ketan, dan kolak yang dimasukkan dalam takir
2).
Penganan tadi kemudian dipakai munjung/ater-ater kepada saudara yang
lebih tua, selain itu ketiga jenis makanan tersebut juga berfungsi
sebagai salah satu ubarampe kenduri. Pada umumnya, sebelum Tradisi
Nyadran dimulai, warga akan bergotong royong membersihkan makam
(besik), kemudian mereka menggelar kenduri yang berlokasi di
sepanjang jalan masuk menuju makam atau lahan kosong di sekitar
makam.
Masuknya
Islam pada abad ke-13 di Indonesia, membawa akulturasi pada
kebudayaan jawa. Begitupula dengan tradisi-tradisi didalamnya. Agus
wibowo mengungkapkan dalam artikelnya di Harian Sinar Harapan,
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah Islam
di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman atau pribumisasi ajaran
Islam, berlangsung sukses dan membuahkan sejumlah perpaduan ritual,
salah satunya adalah tradisi sraddha yang menjadi Nyadran.
Dalam
konteks keislaman, lanjut Agus Wibowo, Nyadran dimaksudkan sebagai
bentuk penghargaan kepada bulan sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini
dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang
menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan
manusia. Tradisi Nyadran bagi umat islam juga merupakan salah satu
upaya mempersiapkan sebaik-bainya fisik dan rohani guna menyambut
kedatangan bulan suci Ramadhan. Harapannya adalah dengan hati yang
bersih manusia mampu meningkatkan kedekatan diri dengan sang
pencipta.
Selain
dua makna tersebut, Tradisi Nyadran juga dimaksudkan agar manusia
mengingat mati. Berkunjung ke makam-makam leluhur tentunya
mengingatkan bahwa tak ada yang abadi dalam kehidupan ini. Semua akan
berpulang kepada-Nya membawa amalan-amalan dari dunia. Berkaitan
dengan hal tersebut, wujud introspeksi diri lebih ditekankan pada
tradisi ini. Bagaimana kemudian seseorang merenung atas tindakan yang
telah dilakukannya dalam kurun setahun.
Jika
ditinjau lebih meluas, banyak sekali makna-makna yang bisa diambil.
Bagaimana kemudian ada sisi-sisi sosial yang dapat kita ambil.
Kegotongroyongan nampak pada saat pembersihan makam. Duduk bersama
mendoakan arwah leluhur menjadi penghilang jurang status sosial
diantara masyarakat. Hubungan kekerabatan menjadi lebih erat,
mengingat ada proses silaturahmi ketika seseorang melakukan punjung
atau mengirim makanan berupa kenduri kepada sanak saudara dan
tetangga. Nyadran bukanlah sekedar tradisi semata, menurut Agus
Wibowo hal tersebut juga dapat menjadi wahana perekat sosial, sarana
membangun jati diri bangsa, pembangun rasa kebangsaan dan
nasionalisme. Sudah sepantasnya Tradisi Nyadran dilestarikan sebagai salah satu bentuk menjaga kebudayaan daerah. Keberadaan makna-makna yang bernilai spiritual dan sosial menjadi alasan yang cukup penting mengenai keberadaan tradisi ini. Semoga Tradisi Nyadran akan tetap ada dan tak lekang dimakan zaman.
1)
sifat
merasa dan ikut memiliki
2)
tempat
makanan terbuat dari daun pisang yang di kanan-kiri ditusuk lidi. Di
beberapa daerah, ada pula yang menyebut takir dengan sudi.
DAFTAR PUSTAKA
Bangunjiwa,
Ki Juru. Belajar
Spiritual, Bersama "The Thingking General".
2009. Jogja bangkit publisher: Yogyakarta.
Hartoko,
Dick. Kalangwan (terjemahan).
1983.
Wibowo,
Agus. Kearifan Kultural
Tradisi ”Nyadran”. Harian Sinar
Harapan. 31 Agustus 2008.
softfile bisa diunduh DISINI
Mantap artikelnya krn menambah wawasan saya. Salam kenal buat saudara.
BalasHapussip juragan.... salam kenal dan salam blogwalking :)
Hapusbaru tau nyadran apaan , nicepost gan
BalasHapusterimakasih juragan, semoga berkenan dengan postingan ane....
Hapuskunjungan yang kedua gan, kebudayaan suatu daerah adalah kekayaan tersendiri dan tentu saja harus dilestarikan. Yach kebudayaan/culture adalah ciri khas yang menyatukan tiap daerah.
BalasHapusbener banget gan, save our culture, mengingat era globalisasi atas gombalisasi sudah mulai merajalela dimana-mana?
Hapussungguh tradisi yang luarbiasa, terlihat jelas rasa kebersamaan dan rasa saling mencintai satu sama lain diantara mereka
BalasHapusyah, seperti itulah juragan
Hapus