Kamis, 27 Februari 2014

PKD: (Makalah kebudayaan) Tradisi Nyadran Dan Makna Yang Menyertainya




Oleh: Marwi Hendrianto



Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan daerah yang masih lestari hingga saat ini. Kelestarian budayaya jawa tak luput dari sifat karakteristik yang bersifat religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik serta peran serta keaktifan masyarakat dalam menjaga tradisi-tradisi yang ada (Ki Bangunjiwa: 2002). Berbekal sifat karakteristik serta hanggarbeni 1) dari masyarakatnya tersebut, banyak sekali tradisi-tradisi dari masa lalu yang masih dapat dijumpai hingga saat ini. Sekaten, Gunungan, Suran, Tedak Siten, Mitoni, Nglarung dan Nyadran merupakan sebagian dari tradisi Jawa yang masih dapat kita saksikan.
Salah satu tradisi Jawa yang masih lestari hingga saat ini adalah Nyadran. Nyadran berasal dari kata “sraddha”, yang dalam Bahasa Sansekerta berarti keyakinan, percaya atau kepercayaan. P.J. Zoetmulder dalam bukunya, Kalangwan, menceritakan bahwa Upacara Sraddha merupakan salah satu bentuk penghormatan atas kematian Tribhuwana Tungga Dewi, raja Kerajaan Majapahit yang puput pada tahun 1350. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya Tradisi Nyadran berlangsung secara lestari di tanah jawa, mulai dari zaman kerajaan Majapahit hingga sekarang.
Secara umum, prosesi Nyadran hampir sama di beberapa daerah. Inti dari Nyadran melibatkan tiga hal: uba rampe berupa sesaji, mendatangi makam leluhur, dan berdoa, sebagai bentuk penghormatan terhadap arwah mereka. Esesnsi dari ketiga kegiatan tersebut adalah sebagai bentuk pendekatan diri kepada Tuhan YME. Pelaksanaan Nyadran biasanya dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah (Sya’ban). Pemilihan waktu tersebut, disamping berdasar kesepakatan, juga berdasar paham mudhunan dan munggahan, yaitu paham yang meyakini bulan Ruwah sebagai saat turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucu di dunia (Gatot Marsono: 2007).
Prosesi Nyadran umumnya diawali dengan setiap keluarga membuat kue apem, ketan, dan kolak yang dimasukkan dalam takir 2). Penganan tadi kemudian dipakai munjung/ater-ater kepada saudara yang lebih tua, selain itu ketiga jenis makanan tersebut juga berfungsi sebagai salah satu ubarampe kenduri. Pada umumnya, sebelum Tradisi Nyadran dimulai, warga akan bergotong royong membersihkan makam (besik), kemudian mereka menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan masuk menuju makam atau lahan kosong di sekitar makam.
Masuknya Islam pada abad ke-13 di Indonesia, membawa akulturasi pada kebudayaan jawa. Begitupula dengan tradisi-tradisi didalamnya. Agus wibowo mengungkapkan dalam artikelnya di Harian Sinar Harapan, Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman atau pribumisasi ajaran Islam, berlangsung sukses dan membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya adalah tradisi sraddha yang menjadi Nyadran.
Dalam konteks keislaman, lanjut Agus Wibowo, Nyadran dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan kepada bulan sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Tradisi Nyadran bagi umat islam juga merupakan salah satu upaya mempersiapkan sebaik-bainya fisik dan rohani guna menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Harapannya adalah dengan hati yang bersih manusia mampu meningkatkan kedekatan diri dengan sang pencipta.
Selain dua makna tersebut, Tradisi Nyadran juga dimaksudkan agar manusia mengingat mati. Berkunjung ke makam-makam leluhur tentunya mengingatkan bahwa tak ada yang abadi dalam kehidupan ini. Semua akan berpulang kepada-Nya membawa amalan-amalan dari dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, wujud introspeksi diri lebih ditekankan pada tradisi ini. Bagaimana kemudian seseorang merenung atas tindakan yang telah dilakukannya dalam kurun setahun.
Jika ditinjau lebih meluas, banyak sekali makna-makna yang bisa diambil. Bagaimana kemudian ada sisi-sisi sosial yang dapat kita ambil. Kegotongroyongan nampak pada saat pembersihan makam. Duduk bersama mendoakan arwah leluhur menjadi penghilang jurang status sosial diantara masyarakat. Hubungan kekerabatan menjadi lebih erat, mengingat ada proses silaturahmi ketika seseorang melakukan punjung atau mengirim makanan berupa kenduri kepada sanak saudara dan tetangga. Nyadran bukanlah sekedar tradisi semata, menurut Agus Wibowo hal tersebut juga dapat menjadi wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, pembangun rasa kebangsaan dan nasionalisme. Sudah sepantasnya Tradisi Nyadran dilestarikan sebagai salah satu bentuk menjaga kebudayaan daerah. Keberadaan makna-makna yang bernilai spiritual dan sosial menjadi alasan yang cukup penting mengenai keberadaan tradisi ini. Semoga Tradisi Nyadran akan tetap ada dan tak lekang dimakan zaman. 

1) sifat merasa dan ikut memiliki

2) tempat makanan terbuat dari daun pisang yang di kanan-kiri ditusuk lidi. Di beberapa daerah, ada pula yang menyebut takir dengan sudi.


DAFTAR PUSTAKA
Bangunjiwa, Ki Juru. Belajar Spiritual, Bersama "The Thingking General". 2009. Jogja bangkit publisher: Yogyakarta.

Hartoko, Dick. Kalangwan (terjemahan). 1983.
Wibowo, Agus. Kearifan Kultural Tradisi ”Nyadran”. Harian Sinar Harapan. 31 Agustus 2008.


softfile bisa diunduh DISINI

8 komentar:

  1. Mantap artikelnya krn menambah wawasan saya. Salam kenal buat saudara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip juragan.... salam kenal dan salam blogwalking :)

      Hapus
  2. baru tau nyadran apaan , nicepost gan

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih juragan, semoga berkenan dengan postingan ane....

      Hapus
  3. kunjungan yang kedua gan, kebudayaan suatu daerah adalah kekayaan tersendiri dan tentu saja harus dilestarikan. Yach kebudayaan/culture adalah ciri khas yang menyatukan tiap daerah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener banget gan, save our culture, mengingat era globalisasi atas gombalisasi sudah mulai merajalela dimana-mana?

      Hapus
  4. sungguh tradisi yang luarbiasa, terlihat jelas rasa kebersamaan dan rasa saling mencintai satu sama lain diantara mereka

    BalasHapus